Top List Pedia – Ketegangan di kawasan Asia Tenggara kembali menjadi sorotan setelah serangan di perbatasan terjadi antara Kamboja dan Thailand pada akhir Juli 2025. Sebanyak 12 orang dilaporkan tewas, termasuk warga sipil, akibat roket dan artileri yang ditembakkan dari wilayah Kamboja ke sejumlah provinsi Thailand. Peristiwa ini memunculkan kekhawatiran baru terhadap stabilitas kawasan dan mengundang reaksi internasional.
Menurut laporan resmi dari pemerintah Thailand, serangan dimulai pada pagi hari ketika rudal-rudal meluncur ke wilayah Sisaket dan Surin, dua provinsi di Thailand yang berbatasan langsung dengan Kamboja. Beberapa rumah warga rusak, dan sebuah sekolah terkena pecahan peluru, menyebabkan kepanikan massal.
Satu unit militer Thailand langsung mengaktifkan protokol siaga penuh, dan pemerintah setempat mengevakuasi ratusan warga ke pusat perlindungan sementara. Sebagai balasan, Thailand mengerahkan jet tempur F-16 untuk melakukan serangan balik ke beberapa pos militer Kamboja.
Banyak analis menyebut konflik ini bukan hal baru. Sejak bertahun-tahun, Perbatasan Thailand–Kamboja memang dikenal sebagai wilayah sensitif, terutama karena sengketa wilayah yang belum sepenuhnya diselesaikan. Candi Preah Vihear, yang terletak di daerah pegunungan Dangrek, menjadi salah satu titik utama konflik. Meski Mahkamah Internasional pada tahun 1962 menetapkan bahwa candi tersebut milik Kamboja, wilayah di sekitarnya masih diperdebatkan.
Kondisi geografis yang sulit, minimnya infrastruktur pengawasan, serta sejarah militerisasi kawasan perbatasan turut memperburuk situasi. Banyak pos militer di sepanjang garis batas ini berada dalam jarak tembak satu sama lain.
Perdana Menteri Thailand dalam konferensi pers menyampaikan duka mendalam atas korban jiwa yang berjatuhan dan menegaskan bahwa tindakan militer Thailand merupakan bentuk pertahanan diri.
Sementara itu, Kamboja menuduh Thailand terlebih dahulu melakukan pelanggaran wilayah udara yang memicu respons dari pasukan mereka. Pernyataan saling tuduh ini membuat penyelesaian diplomatik terasa kian rumit.
Pihak ASEAN sudah menyampaikan kekhawatiran dan menawarkan forum mediasi darurat. Beberapa negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, menyerukan penghentian kekerasan dan mendorong kedua negara untuk kembali ke meja perundingan.
Konflik ini tentu paling dirasakan oleh masyarakat sipil. Seorang warga bernama Chaiyut (43 tahun), yang tinggal di dekat perbatasan, menyebut serangan tersebut sebagai “mimpi buruk yang terjadi lagi.”
“Dulu kami hidup dalam damai, tetapi sejak beberapa bulan terakhir, dentuman meriam dan helikopter sering terdengar. Kami takut tidur,” ujarnya.
Beberapa sekolah dan pasar ditutup sementara. Aktivitas ekonomi terganggu, dan jalur logistik utama antara dua negara dibekukan.
Meski belum ada tanda-tanda konflik meluas secara nasional, banyak pengamat mengkhawatirkan potensi eskalasi jika tidak segera ditangani secara diplomatis. Situasi seperti ini dapat memicu sentimen nasionalisme dan digunakan oleh kelompok politik tertentu untuk kepentingan internal masing-masing negara.
Beberapa pihak juga mencemaskan bahwa konflik perbatasan ini bisa memperkeruh kerja sama ASEAN, terutama dalam bidang ekonomi regional yang kini tengah bangkit pasca pandemi.
Ketimbang memperdebatkan siapa yang memulai serangan, dunia internasional kini mendorong pembentukan zona netral di sepanjang perbatasan, disertai penempatan pengawas internasional. Usulan ini dinilai lebih realistis dibanding menunggu proses hukum yang panjang.
Di tengah ketegangan ini, satu harapan tetap muncul: bahwa suara diplomasi akan lebih nyaring dari dentuman senjata.
Baca Juga : Kebakaran Hutan di Riau: Kurang dari 24 Jam Lahan Sebesar 1000 Hektar Ludes Terbakar
Simak Juga : Kemewahan Sejati dari S.T. Dupont Lebih Presisi Mekanisme