Top List Pedia – Dalam waktu kurang dari 24 jam, Provinsi Riau kembali menjadi sorotan nasional. Sekitar 1.000 hektare lahan dilaporkan hangus terbakar, membuat lonjakan drastis dibanding hari sebelumnya yang mencatat 546 hektare. Fenomena ini tidak hanya mencemaskan, tetapi juga menyiratkan betapa rentannya wilayah ini terhadap bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang berulang.
Lebih dari sekadar angka, kejadian ini membuka kembali luka lama Indonesia kabut asap, degradasi lingkungan, dan konflik antara pembangunan serta pelestarian alam. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan: Apakah kita benar-benar belajar dari masa lalu?
Peningkatan tajam titik api dalam waktu singkat menunjukkan bahwa ini bukan sekadar musibah alam. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada 790 titik panas dan 27 titik api aktif yang terdeteksi di Riau. Namun, faktor utamanya bukanlah cuaca ekstrem atau El Nino, melainkan ulah manusia.
Bukti lapangan menunjukkan bahwa banyak kebakaran hutan berasal dari tindakan pembukaan lahan dengan cara dibakar. Korek api, jeriken berisi bahan bakar, serta kayu bekas pembakaran menjadi barang bukti yang ditemukan petugas. Aktivitas pembakaran ini bukan tanpa motif. Di banyak kasus, membuka lahan untuk perkebunan sawit atau pertanian masih dianggap “jalan pintas” yang murah, meski berisiko tinggi.
Baca Juga : 7 Fakta Unik dari Seluruh Dunia yang Masih Jadi Teka-Teki hingga Hari Ini
Terkait kejadian kebarakan hutan ini, Polda Riau telah menangkap 29 orang tersangka dalam sepekan terakhir. Totalnya, 44 kasus telah ditangani sejak Januari 2025 dengan luas lahan terbakar mencapai 269 hektare. Pelaku berasal dari berbagai kabupaten seperti Kampar, Rokan Hilir, Indragiri Hulu, hingga Pekanbaru.
Langkah hukum ini tentu memberi efek jera, tetapi juga menyoroti betapa luas dan kompleksnya jaringan pelaku karhutla, baik individu maupun korporasi. Menteri Lingkungan Hidup bahkan telah memanggil sejumlah perusahaan besar termasuk RAPP, Sinar Mas Group, dan PTPN IV untuk bertanggung jawab terhadap wilayah konsesinya. Ini menegaskan bahwa penanganan karhutla bukan hanya urusan masyarakat lokal, tapi juga melibatkan perusahaan dengan skala nasional.
Di tengah krisis ini, pemerintah pusat dan daerah bergerak cepat. Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) diluncurkan untuk memicu hujan buatan di wilayah rawan. Selain itu, helikopter water bombing dikerahkan bersama tim darat dari TNI, Polri, dan BPBD untuk memadamkan api dan mencegah meluasnya kabut asap.
Setidaknya 12 kabupaten di Riau telah menetapkan status tanggap darurat. Langkah ini memberi wewenang lebih besar dalam mengerahkan sumber daya dan anggaran untuk meminimalkan kerusakan. Namun, upaya ini tetap terbatas jika tidak dibarengi partisipasi aktif dari masyarakat dan pelaku usaha.
Kebakaran hutan bukan sekadar bencana lingkungan. Asap yang dihasilkan mengandung partikel berbahaya bagi kesehatan, terutama anak-anak, lansia, dan penderita asma. Selain itu, sektor pertanian dan pariwisata lokal ikut terdampak. Aktivitas ekonomi terganggu, dan kualitas hidup masyarakat menurun drastis.
Tak kalah penting, krisis ini juga mengancam citra Indonesia di kancah internasional. Komitmen terhadap pengendalian perubahan iklim bisa tercoreng jika karhutla terus berulang tanpa solusi permanen.
Simak Juga : Desain Tato Gen Z yang Dianggap Tabu, Kini Jadi Simbol Fashion!
Krisis ini seharusnya menjadi momentum untuk berbenah secara menyeluruh. Pencegahan harus menjadi fokus utama, bukan hanya penanganan setelah api menyala. Edukasi kepada masyarakat tentang bahaya membuka lahan dengan cara dibakar, pengawasan ketat terhadap perusahaan pemilik lahan, serta penguatan sistem deteksi dini harus terus diperkuat.
Lebih dari itu, kita perlu membangun kesadaran kolektif bahwa menjaga lingkungan bukan sekadar tugas pemerintah atau aktivis, tapi tanggung jawab semua pihak. Karena pada akhirnya, udara bersih dan hutan yang lestari adalah hak dan warisan untuk generasi mendatang.